HIPOTEK KAPAL DI INDONESIA

HIPOTEK KAPAL DI INDONESIA
HIPOTEK KAPAL DI INDONESIA
HIPOTEK KAPAL DI INDONESIA

A.           PENDAHULUAN
Perusahaan pelayaran atau usaha angkutan laut merupakan bidang usaha yang membutuhkan modal besar (padat modal). Usaha ini membutuhkan kapal sebagai alat usaha utama dan sumber daya manusia dibidang maritim yang memenuhi standar kompetensi baik nasional maupun internasional terutama tenaga pelaut. Untuk memenuhi kebutuhan ini perlu modal besar agar kelangsungan usaha tetap terjamin. Masalah permodalan inilah yang membuat perusahaan pelayaran  nasional sulit berkembang. Sebagai jalan keluar agar usaha tetap berjalan terpaksa mencarter kapal milik asing dan berbendera asing. Sehingga akhirnya pangsa pasar angkutan dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing.
Dalam rangka memberdayakan perusahaan pelayaran nasional, pemerintah telah melakukan berbagai usaha antara lain melalui deregulasi di bidang angkutan laut dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 14 Tahun 1996 tentang Penyederhanaan Tata Cara Pengadaan dan Pendaftaran Kapal. Keputusan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada perusahaan pelayaran nasional membeli kapal dari luar negeri baik bangunan baru maupun bekas berbendera asing. Namun setelah sepuluh tahun berjalan, perusahaan pelayaran nasional masih tetap belum bisa bangkit dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebab tanpa didukung permodalan yang kuat tetap saja tidak bisa memiliki kapal sendiri sebagai alat usaha utama walaupun sudah diberikan kemudahan dalam tata cara pengadaan kapal. Permasalahan pokok yang dihadapi oleh dunia usaha pelayaran adalah kesulitan untuk memperoleh dana untuk pembiayaan kapal (ship financing). Karena itulah diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Dengan Inpres ini sektor-sektor terkait terutama, bidang keuangan diharuskan berpartisipasi memberdayakan industri pelayaran nasional dengan membuat kebijakan-kebijakan baru. Selain itu diinstruksikan pula untuk meratifikasi Internasional Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993 yang mengatur tentang mortgage, hipotek dan piutang yang dapat didaftarkan.
Sumber untuk memperoleh modal yang besar adalah dari bank atau lembaga keuangan non bank berupa kredit untuk modal kerja atau investasi. Setiap pemberian kredit apalagi dalam jumlah yang besar tentu harus dengan jaminan yang seimbang dari debitur. Dalam perusahaan pelayaran, asset yang bernilai dan dapat dijadikan jaminan adalah kapal. Kredit yang diperoleh untuk membeli kapal, diharapkan dapat dijamin dengan kapal itu sendiri dengan cara pembebanan hipotek atas kapal. Sementara ini pihak bank atau lembaga keuangan non bank dengan berbagai alasan masih enggan menerima kalau hanya kapal sebagai jaminan, mereka masih meminta jaminan tambahan. Hal ini sulit dipenuhi oleh perusahaan angkutan laut berskala kecil atau baru tumbuh.

B.            HIPOTEK KAPAL

1.     Dasar Hukum
Ketentuan mengenai hipotek kapal dimuat dalam :
a.            KUH Perdata Buku Kedua tentang Kebendaan Bab XXI Pasal 1162  s/d 1232.
b.            KUHD Buku Kedua tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Terbit Dari Pelayaran Bab Kesatu Pasal 314 s/d 315e.
c.             Peraturan Pendaftaran Kapal Stbl 1933 No.48 (Peraturan Pelaksanaan dari Pasal 314 KUHD).
d.            UU 17/2008 tentang Pelayaran Bab VI Hipotek Dan Piutang Pelayaran yang didahulukan Pasal 60 s/d 66.
e.            PP 51/2002 tentang Perkapalan Bab V Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal Indonesia Pasal 33 dan 35.
 Pengaturan dalam UU 17/2008 dan PP 51/2002 hanya sekedar yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pembebanan hipotek atas kapal (hanya aspek Hukum Publik).
Pasal 1162 KUH Perdata :
Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.
Pasal 314 alinea ketiga KUHD :
Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu dapat diletakkan hipotek.
Walaupun belum merupakan undang-undang tersendiri, tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan hipotek kapal telah lengkap diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, meskipun masalah pelaksanaan eksekusi masih menjadi perdebatan.
2.      Kapal yang dapat dibebani Hipotek
Pasal 60 ayat (1) UU.17/2008 :
Kapal yang didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 314 alenia ketiga KUHD dan Pasal 60 ayat (1) UU.17/2008 kapal yang dapat dibebani hipotek adalah kapal yang telah didaftarkan.
Pasal 314 alenia kesatu KUHD :
Kapal-kapal Indonesia, yang berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik isi-kotor, dapat dibukukan didalam suatu register kapal menurut ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.
Definisi kapal Indonesia menurut Pasal 2 Penetapan Surat Surat Laut dan Pas-Pas kapal stbl 1934 No.78 secara singkat adalah kapal yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Sedangkan undang-undang tersendiri yang dimaksud oleh Pasal 314 alenia kesatu KUHD adalah Peraturan Pendaftaran kapal Stbl 1933 No.48.
Pasal 158 ayat (2) UU. 17/2008 :
Kapal yang dapat didaftar di Indonesia adalah :
a.            Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya 7 (GT.7);
b.            Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
c.             Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Dengan demikian kapal yang dapat dibebani hipotek di Indonesia adalah kapal yang telah didaftar di Indonesia  berukuran tonase kotor GT.7 atau lebih dan dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.
3.      Tata Cara Pembebanan Hipotek
a.      Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di tempat kapal didaftar.
b.      Kreditur mengajukan permohonan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
* Asli Grosse Akta Pendaftaran/Grosse Akta Baliknama,
* Akta Kuasa Memasang Hipotek,
* Perjanjian Kredit, atau
c.      Pemilik kapal dan kreditur bersama-sama mengajukan permohonan dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
          * Asli Grosse Akta Pendaftaran/Grosse Akta Baliknama
          *Perjanjian Kredit.
d.      Pendaftaran hipotek terjadi pada saat penandatangan Akta Hipotek dengan memberi nomor dan tanggal Akta Hipotek serta mencatat dalam Daftar Induk pendaftaran kapal.
e.      Sebagai bukti kapal telah dibebani hipotek, kepada kreditur diberikan Grosse Akta Hipotek untuk disimpan bersama dengan Grosse Akta Pendaftaran/Grosse Akta Baliknama Kapal.
          Grosse akta hipotek memakai irah-irah “Demi Keadilan, Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 
4.      Materi Muatan Akta Hipotek   
Akta hipotek sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut :
·        Nomor dan tanggal akta
·        Nama dan tempat Pejabat Pendaftar dan Baliknama Kapal
·        Nama dan domisili pemberi dan penerima hipotek
·        Perjanjian kredit sebagai dasar pembebanan hipotek
·        Data kapal
·        Status hukum kapal
·        Nilai hipotek

5.      Pengalihan Hipotek       
          Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek yang lain dilakukan dengan membuat Akta Pengalihan Hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk pendaftaran kapal.
6.      Roya Hipotek
          Roya Hipotek dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek dengan melampirkan asli Grosse Akta Hipotek. Dalam hal permintaan/permohonan diajukan oleh pemberi hipotek, harus dilampiri dengan surat persetujuan roya dari pemegang hipotek. Roya hipotek juga dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
          Roya hipotek dicatat dalam asli Grosse Akta Hipotek dan dalam Daftar Induk pendaftaran kapal. Grosse Akta Pendaftaran/Grosse Akta Baliknama Kapal dan Akta hipotek yang telah dicantumkan catatan roya dikembalikan kepada pemilik kapal.

         
C.           HAMBATAN DALAM MENGUNAKAN KAPAL SEBAGAI JAMINAN HUTANG (HIPOTEK KAPAL)

Bank dan lembaga keuangan non bank baik nasional maupun asing tidak tertarik untuk memberi pinjaman kepada perusahaan pelayaran dengan jaminan kapal (Hipotek kapal) karena :

1.            Usaha pelayaran di Indonesia dianggap tidak fleksibel secara ekonomi.
2.            Kapal tidak mudah dijual.
3.            Perusahaan Pelayaran sulit memenuhi equity debt ratio yang umumnya diisyaratkan dan menyediakan kolateral tambahan.
4.            Tingkat suku bunga yang relative sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan pelayaran.
5.            Eksekusi Hipotek sulit dilakukan karena kapal dapat berlayar melampui yuridiksi Indonesia sehingga sulit dijangkau kalangan perbankan untuk memperoleh pelunasan dari kapal yang dibebani hipotek.
6.            Peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai penahanan kapal (arrest of ship) baik untuk sita jaminan maupun sita eksekusi yang tidak menunjang kepastian eksekusi hipotek.
7.            Walaupun Grosse Akta Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial, namun dalam praktek masih tetap memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan negeri dan harus melalui proses gugatan.
Kondisi ini menyebabkan perusahaan pelayaran nasional sulit untuk berkembang karena untuk penambahan atau peremajaan armada kapalnya diperlukan dana yang besar, sementara mereka tidak mampu menyediakan jaminan tambahan (kolateral) yang diminta oleh kreditur. Sehingga hanya perusahaan pelayaran nasional yang besar saja yang dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank.

D.          INTERNATIONAL CONVENTION ON MARITIME LIENS AND MORTGAGE YEAR 1993

Sehubungan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005, untuk memberi rasa aman dan menarik perhatian investor terutama  asing agar mau memberikan pembiayaan bagi industri pelayaran nasional,  pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993 dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005.
Konvensi ini mengatur antara lain :
1.            Mortgage, hipotek dan piutang yang dapat didaftarkan dalam bentuk apapun yang dibebankan atas kapal niaga harus diakui dan diberlakukan di negara-negara peserta bila telah dilakukan sesuai dengan  peraturan perundang perundangan Negara tempat kapal didaftarkan.
2.            Penjenjangan dari mortgage, hipotek dan piutang-piutang tersebut diantara ketiganya serta akibat-akibatnya terhadap pihak ketiga, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi harus ditetapkan berdasarkan hukum negara tempat kapal didaftarkan.
3.            Negara peserta konvensi tidak boleh melakukan deregistrasi kapal kecuali apabila semua mortgage, hipotek dan piutang yang telah terdaftar dihapuskan terlebih dahulu atau setelah memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak atas mortgage, hipotek atau pitang.
4.            Negara peserta konvensi tidak boleh mendaftarkan kapal yang masih terdaftar di negara peserta konvensi lainnya kecuali :
a.     Telah ada deletion certificate dari negara tempat kapal semula terdaftar.
b.     Telah ada sertifikat dari negara tempat kapal pendaftar yang menyatakan bahwa deletion certificate akan diterbitkan segera pada saat pendaftaran baru mulai berlaku. 
5.            Jenis piutang pelayaran yang didahulukan.
6.            Piutang pelayaran memiliki prioritas di atas mortgage, hipotek dan piutang yang terdaftar.
Dalam KUHD Pasal 316 dan 316a juga diatur piutang yang lebih tinggi peringkatnya dari hipotek yaitu piutang yang diistimewakan atas kapal. Jenis piutang yang diistimewakan tersebut hampir sama dengan jenis piutang pelayaran yang didahulukan yang diatur dalam konvensi ini.
Manfaat yang diperoleh Indonesia dari meratifikasi Konvensi Internasional tentang Piutang Pelayaran dan Mortgage,1993 :
1.            Hipotek atas kapal yang terdaftar di Indonesia diakui dan diperlakukan sama di semua negara peserta konvensi.
2.            Kreditur/investor merasa lebih terjamin untuk menerima kapal sebagai jaminan utang dalam bentuk hipotek atas kapal Indonesia, karena adanya larangan pengalihan kepemilikan atau pendaftaran kapal yang masih dibebani hipotek.
3.            Akan membantu pemberdayaan industri pelayaran nasional.

Dengan telah diratifikasinya konvensi ini, maka semua negara peserta konvensi harus mengakui hipotek kapal di Indonesia, demikian pula sebaliknya Indonesia juga harus mengakui hipotek kapal di semua negara peserta konvensi.
Karena itu setiap bank atau lembaga keuangan non bank seharusnya tidak perlu ragu lagi dalam memberikan pembiayaan dengan kapal sebagai jaminan (hipotek).

E.            RUU HIPOTEK KAPAL

Saat ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai hipotek kapal, jadi masih menggunakan ketentuan tentang hipotek kapal yang ada dalam KUHD dan KUHPerdata. Ketentuan yang ada dalam KUHD dan KUHPerdata dianggap oleh beberapa pihak belum memadai dan sudah ketinggalan zaman, disamping belum adanya kepastian hukum terhadap eksekusi hipotek kapal. Hal ini pula yang dijadikan oleh sebagian investor untuk tidak memberikan pembiayaan dengan kapal sebagai jaminan (hipotek).
Karena itu saat ini pemerintah sedang menyiapkan RUU Hipotek Kapal sebagai antisipasi terhadap hal-hal tersebut diatas dengan mengadopsi berbagai ketentuan International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993 dan bahan yang disusun oleh tim dari INSA dan Departemen Perhubungan.
Beberapa ketentuan yang diatur secara lebih tegas dalam RUU Hipotek Kapal antara lain, mengenai :
a.            Definisi hipotek kapal;
b.            Pendaftaran hipotek kapal;
c.             Peringkat hipotek kapal;
d.            Eksekusi hipotek kapal;
e.            Kekuatan eksekutorial Grosse Akta Hipotek kapal;
f.              Sanksi terhadap Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.
Diharapkan RUU ini dapat segera diselesaikan dan disahkan menjadi UU.

F.            PENUTUP

1.            Pokok permasalahan bagi perusahaan pelayaran adalah sulitnya memperoleh pembiayaan kapal dengan menggunakan kapal sebagai jaminan dengan cara pembebanan hipotek atas kapal.

2.            Peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengatur mengenai penggunaan kapal sebagai jaminan utang yaitu melalui pembebanan hipotek atas kapal.

3.            Penyebab utama pihak bank atau lembaga keuangan non bank enggan memberikan pinjaman dengan kapal sebagai jaminan adalah ketidakpastian dalam melakukan eksekusi hipotek baik dari aspek peraturan perundang-undangan maupun pengusaan fisik kapal, karena kapal dapat berada jauh dari jangkauan kreditur.

4.            Untuk lebih memberikan rasa aman dan menarik perhatian investor terutama asing dalam memberikan pembiyaan kapal, pemerintah Indonesia telah meratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgages, 1993.

5.            Dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan tentang hipotek kapal dan mengakomodasi ketentuan Internasional, Rancangan Undang-Undang Hipotek harus segera diselesaikan dan disahkan menjadi Undang-Undang.

6.            Untuk melengkapi Undang-Undang Hipotek kapal dan untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi atas kapal yang dihipotekan harus segera diselesaikan proses ratifikasi International Convention on Arrest of Ship dan dilanjutkan dengan membuat Undang-Undang Penahanan Kapal.

7.            Pengaturan tentang hipotek kapal dan piutang pelayaran yang didahulukan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran hanya sebatas tata cara pembebanan hipotek atas kapal dan jenis piutang pelayaran yang didahulukan.

ROSWYAR SH.,MH.
Baca Halaman Selanjutnya
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Next
This Is The Current Newest Page